Monday, January 05, 2015

Si Manis yang Mulai Terlupakan

Ibu-ibu penjual Geblog, kue yang terbuat dari singkong, dinikmati dengan parutan kelapa dan gula pasir 


Hari ini aku berkesempatan mengunnjungi pasar tradisional di desaku. Sudah lama sekali rasanya tidak menginjakan kaki disana. Pasar Terisi, sudah mengalami banyak perubahan dari terakhir aku mengunjunginya. Sudah tidak ada lagi toko-toko pakaian ataupun kios-kios buah yang menjajakan dagangannya disepanjang jalan yang berdebu ketika musim panas dan berlumpur saat musim hujan tiba dikarenakan kondisi jalannya yang memang rusak parah. Hal itu dikarenakan adanya penggusuran pada pertengahan tahun lalu untuk pelebaran jalan di dekat areal rel kereta yang berada di dekat pasar.

Getuk, kue tradisional yang cukup terkenal namun sudah jarang peminatnya. Terbuat dari Ubi yang direbus kemudian dihaluskan, ditlapisi gula merah yang telah dihaluskan pada bagian atasnya, disajikan dengan parutan kelapa.
Ada banyak hal yang kutemukan yang mengingatkanku pada masa anak-anak. Berbagai macam jajanan pasar  tradisional yang sudah sangat jarang aku temukan. Ongol-ongol, Getuk, Bubur Sum-sum, Ondal-andil, Bolang-baling, Geblog dan lainnya yang sudah mulai hilang dari "peredaran" dan digantikan dengan kue-kue modern.

Miris memang, saat aku sendiri telah mulai melupakannya dan aku yakin, anak-anak jaman sekarang banyak yang tidak mengetahui keberadaan kue-kue tradisional tersebut, jangankan menyicipinya, mendengar namanya saja mungkin tidak pernah. Padahal, kue-kue tradisional itu adalah salah satu kekayaan kuliner Indonesia yang harus dilestarikan keberadaannya.

Ongol-ongol, terbuat dari tepung kanji, diiris dan rasanya manis, disajikan lengkap dengan parutan kelapa

Berbagai macam kue tradisional, hasil buruanku hari ini.

Friday, August 08, 2014

Puisi Kita

Kita


Yang tidak pernah sama
Menyatu dalam rasa
Menyapa dalam sebuah kesempatan

Kita, dua jenis mata air
yang satu tawar dan segar
yang satu pahit memabukan
Dipersatukan oleh aliran
Dalam muara jiwa

Kita adalah perbedaan
yang tidak menyatu dalam nada
dan melebur dengan noda

Kita adalah siang dan malam
Mengatung rindu bintang pada bias ceria terang
Membenci fajar  yang meranumkan gelap

Kita...
yang tidak bisa merubah nyata
bak ombak yang memecah di pesisir pantai
tidak pernah menyentuh datar

Kita...
yang ingin memaksa bulan bersinar terang
ditengah terik raja siang

Kita...
yang terpisah oleh tangga kasta.
Memusnah rasa pada nyata...


Friday, April 18, 2014

Cerpen : Gladies Expresso

IMAGE MAY BE SUBJECT TO COPYRIGHT


Kakiku terhenti didepan salah satu caffe berpintu dan dinding serba kaca. Kuamati dua kursi yang saling berhadapan, tersekat oleh meja bulat di depannya, disalah satu sudut ruangan. Tak terelak, khayalku menari, menelusuri ruang waktu dan membawa kembali ingatanku pada masa beberapa tahun silam. Tak ingat pasti kapan, tanggal, hari dan bulannya, yang membekas hanya kenangan manisnya. Manis, semanis Gladies.

******

Kita terbiasa menghabiskan waktu sore bersama, mengerjakan tugas kuliah atau hanya bersenda gurau. Secangkir expresso pahit nan nikmat menjadi perekat kebersamaan kita. Ya, disitu, di kursi itu, hotspot corner caffe yang saat ini tengah kutelanjangi dengan mata.

Pengunjungnya sudah tak seramai dulu, kondisinya sudah tak lagi se-cozy saat itu. Kursi di sudut favorite kita pun sudah tak sama, hanya lukisan di dinding dalam yang hingga kini masih tetap tergantung di tempatnya, meski sudah sedikit kusam.

*****

"Bagaimana, kamu suka?" Tanyanya di sela obrolan kami, telunjuknya diarahkan pada sebuah lukisan tak berbingkai yang tergantung di belakang tempat dudukku. Kubalikan tubuh agar apa yang dia maksud dapat kuraih dengan pandangan.
"A cup of coffee?" aku balik bertanya.
"Eemh..." Jawabnya, mengiyakan dengan anggukan. Senyumnya mengembang dengan tatap penuh harap menunggu responku.
"I liked" Jawabku, kubalas senyumnya dengan senyum yang kubuat semanis mungkin. 
"Tahu kenapa secangkir expresso yang kulukis?" 
"Karena ini caffe?" 
"Nope" 
"So...?"
"Karena aku ingin selalu mengingatmu" 
"Tapi kenapa secangkir kopi, instead of my pottret?" selidiku dengan nada menggodanya.
"Well, karena itu expresso favoritemu" terangnya sambil tertawa kecil, kemudian melenggang, meninggalkan meja kami, menuju meja chaser, dan kembali dia dengan aktivitasnya.

Kuperhatikan tubuh rampingnya berdiri di balik mesin hitam, tangan dan jemarinya cekatan, sibuk dengan berbagai orderan. Senyum ramah pun dia umbar pada setiap pelanggan yang menghampiri.

Aah.. Gladies, gadis berusia 3 tahun di bawahku, tapi fikiran dan kerja kerasnya jauh melebihiku. Pintar, sederhana dan sikap apa adanya mampu menaklukan egois dan sifat aroganku.

Ya, dia gadis sederhana yang memiliki asa tinggi menembus cakrawala. Terlahir di tengah keluarga yang sangat sederhana tidak menjadikannya putus harapan dan impian. Optimistic dan pekerja keras, itulah yang aku lihat darinya. "Mimpiku adalah kekuatanku Dhika, karena selain itu aku tidak memiliki apa-apa lagi" Ungkapnya suatu ketika disela obrolan kami. Membuatku tertegun.

****

"Dies, ada sesuatu yang mengganggu fikiranmu?" tanyaku sore itu. Ada yang tak biasa terlihat dari wajah yang biasa ceria. Sebuah kekhawatiran yang pula menghadirkan khawatir di benaku.

"Tidak, aku baik-baik saja Dhika" Jawabnya. Kulihat seulas senyum masam dari bibir mungilnya.

"Really?" aku berusaha memastikan

"Emh..." dia mengangguk.

Kucoba membaca tatapan matanya yang dia lempar kearah luar jendela. Aku menelisik di setiap kedipnya, seolah ada mendung tebal yang mengantungi cairan hujan. "Aku tahu kamu tidak baik-baik saja Dies" Hasratku bertanya, namun aku urungkan untuk menghargai privasinya.

***

"Dhika, apa kamu punya waktu sore ini?" Pesan singkat darinya terpampang di kotak masuk HP-ku.

"Tentu" balasku.

Setelah jam kuliah berakhir, segera kulangkahkan kaki menuju caffe di ujung jalan, tempat Gladies part time, pula tempat kita menghabiskan waktu bersama sepulang kuliahku.

Setelah kubuka pintu kaca, tatapanku langsung tertuju pada gadis berseragam di balik meja cashier. Kulambaikan tangan kearahnya yang masih sibuk dengan pelanggan lain. 
Beberapa menit menunggu, gadis itu kini berada dihadapanku, tersenyum menyapaku dengan secangkir expresso hitam di nampan saji yang dibawanya.

"Sorry to keep you waiting" sapanya.

"That's fine Miss" jawabku menggoda, tawapun memecah diantara kami. Obrolan ringan dan hangat melantun renyah darinya, meraibkan khawatir dalam benakku yang dia hadirkan kemarin. 

"Mungkin kamu memang baik-baik saja" gumamku dalam diri. 

"Dhika, terimakasih untuk segalanya" Ucapnya.

"Terimakasih untuk apa?" tanyaku heran.

"Everything, pokoknya terimakasih saja" jawabnya dengan tawa kecil.

"Okey, aku juga. Terimakasih Gladies... Haha" dan kita kembali menyatu dengan waktu. Menikmati detik demi detik kebersamaan yang tidak pernah ingin aku tinggalkan. 

**
Seminggu telah berlalu sejak pertemuan kami itu. Sejak itu pula aku tidak pernah lagi melihatnys, baik di caffe tempat kerjanya ataupun di kampus. Aku kehabisan cara untuk melacak keberadaannya. Aku semakin kalut, mengingat waktu keberangkatanku yang hanya tinggal menghitung hari. Ya, beberapa hari lagi aku harus meninggalkan tanah air untuk melanjutkan kuliahku di negeri Kangguru. Aku berharap sebelum kepergianku itu aku bisa bertemu dengannya, setidaknya menatap wajah dan senyum manisnya. 
"Gladies, kamu dimana...?" Puluhan bahkan ratusan SMS senada itu kucoba kirim ke nomer HP-nya, tapi tak ada satupun yang terkirim. 
"Inikah makna terimakasihmu?"

*

Kakiku terhenti didepan salah satu caffe berpintu dan dinding serba kaca. Kuamati dua kursi yang saling berhadapan, tersela oleh meja bulat di depannya, disalah satu sudut ruangan. Saat mataku menelanjangi sudut demi sudut caffe yang menyegarkan ingatan 4 tahun silam, seorang wanita berjilbab abu-abu dengan jeans dan kemeja putih terlihat menghampiri kursi di sudut itu. Tangannya menggenggam secangkir kopi dan matanya menatap lukisan yang tergantung di hadapannya. Kini, ia menolehkan kepala, menatap ke arah luar jendela, menangkapku yang berdiri dan memperhatikannya. 

Samar, raut wajahnya terlihat tak asing di mataku. Meski rambut hitamnya kini terbalut kain syar'i tapi aku masih sangat jelas mengenalinya. 

"Gladies, itukah kamu?" tanyaku membathin. Tak membuang waktu, aku berlari ke arah caffe, kutarik gagang pintu kaca dan segera menghampirinya.

"Gladies, kamukah ini?" Tanyaku tanpa basa-basi.
"Dhika....?" Tanyanya dengan nada terkejut.
Setelah saling bertanya kabar kami terhanyut dalam cerita. Menuturkan kisah yang terlewati tanpa bersamaan. 

Entah disadari atau tidak, lekat kuperhatikan setiap lekuk wajahnya. Gadis yang begitu aku rindukan. Tidak banyak yang berubah, mata beningnya, senyum manisnya, semua masih sama.

"Gladies" ucapku memecah kesunyian yang tercipta.
"Boleh aku tahu, mengapa kamu pergi begitu saja tempo dulu?" Sedikit ragu, aku memberanikan diri bertanya sesuatu yang selama ini mengganggu hidupku. Yang ditanya hanya diam, menundukan kepala, matanya menatap lekat pada pekat kopi, sesekali tangan dan jemarinya sibuk memainkan cangkir di hadapannya.

"Dhika, kamu tahu apa itu Jodoh?" Kini dia balik bertanya. Sedikit berfikir sebelum akhirnya aku membuka mulut.

"Jodoh, yang pasti adalah rahasia Tuhan" Jawabku tidak yakin.

"Heemmh..." Ia menarik nafas panjang kemudian menatapku lekat.

"Jodoh adalah yang menyatukan yang terpisah dan yang meyakinkan keraguan. Tuhan telah menuliskan skenario yang berbeda pada setiap umatnya." Jelasnya. Aku hanya terdiam, mencoba mencerna penjelasannya.

"Kamu tahu kenapa saat itu aku pergi begitu saja?" lanjutnya. Aku hanya menggelengkan kepala.

"Karena aku yakin, apabila Tuhan menjodohkan kita untuk bertemu maka kita akan bertemu lagi, tidak perdulia sejauh mana kita telah pergi." 

"Seperti kita saat ini?" imbuhku. 

Kami tersenyum, dan kini kerinduan telah musnah, hilang bersama keraguan yang larut dalam expresso di cangkir kita.


Sunday, April 13, 2014

Rindu

Aku meratap atas rindu yang membungkam
Merajuk pada kasih tak terjenguk
Pelipur khalbu, menyusup pada bukit kelabu
Hantarkan tanya pada ragu
Pulalah rindu merantaimu?

Aku tersedu, pagi tak bermentari
Tapaki hari beriring hampa hati
Pulalah tanya engkau hampiri
akankah sua sungguh mematri?

Aku tersudut diujung telaga
Angkasa menjingga tersapu senja
Namun indah tiada terasa
Belahan jiwa terpisah jumpa

Kiranya masa sanggup kulipat pada titik jumpa, langkahi pada empat purnama.
Jumpa menjelma raib nestapa.

Duuuh... Kanda...
Andai tahu rindu ini menyiksa
Engganlah pula daku mencinta
Namun ini kehendak Kuasa
Jiwa meronta rasa makin menggila.

Tuesday, December 17, 2013

Catatan-Ku

Love is....


"Love is just another way of remembered" 
#LC

Mencintai, bukanlah sebuah alasan untuk kita bisa menghalalkan segala cara agar bisa mendapatkan apa yang kita cintai. Mencintai, adalah ketika kita bisa tersenyum melihat yang dicintai tersenyum, berbahagia saat melihat mereka berbahagia dan tidak akan pernah membuatnya jauh dari rasa kebahagiaannya itu. 

Mencintai adalah keikhlasan, saat kita sudah mampu tuntuk tidak memaksakan kehendak kita atas apa yang hanya kita inginkan. Mencintai adalah menyimpan, memeliki meski tak harus bersama, serta mengenang. 

Ya, mencintai sama halnya dengan mengenang. Saat kita telah mencintai maka kita akan mampu untuk selalu mengenang, dan lupa akan mewujud pada kemerdekaan kita. 

Entah mengapa, anda mempercayaiya atau tidak tapi itu yang sebenarnya saya rasakan dengan cinta. Sakit memang, saat kita harus menerima kenyataan bahwa cinta yang kita miliki tidak mampu menyatukan kita dengan hal yang kita cintai. Tapi,bukankah akan lebih menyakitkan bila kita memaksakan diri untuk memilikinya sedang kita tahu hal itu adalah ketidak-mungkinan? Ini adalah Cinta dalam bentuk keikhlasan, mensejajarkan perasaan dengan logika, bahwa cinta tidak mungkin bisa untuk dipaksakan.

Cinta dalam bentuk menyimpan, adalah cara lain untuk kita bisa memiliki cinta yang tidak mungkin untuk kita miliki. Sedikit berbagi cerita, saya pernah jatuh cinta, bahkan hingga kini saya masih mencintainya karena saya masih menyimpan dia dalam hati dan ingatan. Kendati saya tahu bahwa cinta yang saya miliki sudah tidak mungkin lagi menyatukan saya dengan dia, karena dunia kita kini berbeda. Namun dengan menyimpan dan mengenang apa yang sudah kita jalani dan segala kenangan yang kita miliki adalah cara lain bagi saya untuk memilikinya. 

Saat kita mengenang segala hal yang pernah kita dan seseorang yang kita cinta lalui, saat itu pula cinta akan kembali merengkuh kita. Kenangan adalah bentuk lain dari pertemuan dan lupa yang akan kembali memisahkannya. 

Jadi berbahagialah bila kita masih mampu mengenang saat kebersamaan dengannya, karena saat itu kita masih memiliki kemungkinan untuk mencintainya lagi, seseorang yang pernah kita cintai dan kini sudah tidak dapat kita temui. Tapi bila mengenangnya itu adalah sesuatu yang menyakitkan maka biarkan waktu menghadirkan lupa yang kan memerdekakanmu darinya, karena sesungguhnya tidak akan ada cinta yang kekal selain cinta Rabb kepada ciptaan-Nya.

Sunday, December 08, 2013

OPINI



Duuuu... BMI Hong Kong (lagi)

Miris mendengar berita pagi ini. 12 Buruh Migran Indonesia (BMI) Hong Kong terjerat kasus Narkoba pada Minggu sore (8/12/2013) kemarin, dan beberapa diantaranya diduga pengedar. Setelah polisi melakukan penyelidikan, diketahui bahwa sebagian besar dari BMI tersebut adalah yang juga mengalami kasus Over Stay (OS).

Duuuh.. tambah-tambah miris, sedih, kasihan dan gimana gitu. Bila sudah begini siapa yang disalahkan? Siapa yang harus bertanggung jawab dengan kasus yang mereka alami?

Lagi dan lagi, persoalan OS yang memicu BMI melakukan beberapa tindakan nekat dan terlibat beberapa kasus naas seperti, human trafficking, kehamilan, perbudakan, kekerasan sampai kematian dan seperti yang terjadi kemarin sore, terlibat dalam lingkaran NAFZA (Narkotika, Alcohol, Pesikotropika dan Zat Adictive) adalah masalah nyata yang bersumber dari kasus OS tersebut.

Berbicara tentang OS, akan menuntun kita pada sebab musabab 'mengapa mereka sampai bisa OS?' Dengan begitu kita akan mengetahui siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas semua itu.

Sirkumulasi sistem pemerintah Indonesia yang mengalih tangankan perlindungan rakyatnya kepada suasta disinyalir sebagai faktor utama kasus BMI OS.

Sebagian besar dari kasus OS bersumber dari sistem Online yang diterapkan oleh KJRI Hong Kong yang tercantum dalam Surat Edaran (SE) 2524 serta pelarangan kontrak mandiri. Menjadikan BMI yang diputus/memutus kontrak kerja dengan majikan harus kembali mengalami exploitas oleh Agency dan hal itu memaksa BMI untuk lebih memilih kabur atau melakukan pekerjaan yang biasa disebut 'ilegal', daripada harus kembali membayar biaya Agent yang tidak murah. Penahanan paspor dan dokumen penting BMI yang dilakukan oleh Agency sebagai jaminan agar BMI membayar "hutang" juga salah satu sebab terjadinya kasus OS, karena banyak BMI yang tidak tahu kapan validasi visa kerja dan paspor serta dokumen lain yang dimilikinya itu berlaku.

Jadi dalam kasus ini SALAH bila hanya melempar putusan 'Terduga/Kesalahan' pada BMI saja, karena pemerintah Indonesia juga mengambil andil dalam kasus yang menjerat mereka.

Belajar dari kasus ini dan yang sudah-sudah, semoga bisa dijadikan cermin bagi setiap lapisan dan komponen. Baik BMI itu sendiri, untuk lebih berhati-hati dalam menjaga diri dari lingkungan agar tidak terseret arus pergaulan, apalagi di negara maju seperti Hong Kong ini, dan somoga juga pemerintah Indonesia bisa lebih membuka mata dan melihat bagaimana kondisi dan dampaknya di lapangan sebelum mengeluarkan dan menerapkan sebuah peraturan bagi warga negaranya.

Dan andai saja BMI tidak diwajibkan masuk Agen dan dokumen mereka tidak ditahan, andai saja BMI memiliki pilihan untuk menentukan sendiri jasa agen mana yang ia inginkan, andai saja BMI bisa mengurus kontrak kerjanya sendiri tanpa perlu melalui perantara agen dan membayar komisi yang mahal, mungkin inflasi BMI OS akan berkurang dan masalah lain yang disebabkannya juga akan ikut berkurang kan.

Aah... ANDAI SAJA KITA TIDAK HARUS TERPAKSA MENJADI BMI...

Friday, November 22, 2013

Catatan Harian


"Saat cinta menghampirimu disaat yang tidak seharusnya ia hadir, maka kejujuran adalah solusi untuk menghentikannya" #LC


Kini aku berdiri tepat di depan pintu masuk sebuah restoran yang kita janjikan. Siang ini aku putuskan untuk memenuhi ajakan makan siang yang sudah dia tawarkan dari seminggu yang lalu.

Senyum ramah pegawai restoran yang membukakan pintu masuk sedikit mencairkan keteganganku. Setelah mengumpulkan keberanian, kulangkahkan kaki memasuki restoran tersebut. Beberapa kali celingukan, akhirnya kutemukan juga sosok yang kucari sebelum pelayan disitu menanyaiku "sudah booking tempat, butuh berapa orang, dan ini dan itu...". Ya, aku memang tidak suka saat mereka menanyaiku, entah mengapa, risih rasanya.

Setelah pandangan kita saling beradu, ia terlihat melambaikan tangan kearahku, seolah memberi kompas pada langkahku untuk segera menghampirnya. Dan aku hanya tersenyum membalas lambaian tangan itu. Segera kuayunkan kaki menuju meja yang menghadap tangga di lantai dua restoran. Tempat yang memang biasa kita duduki saat berkunjung ke restoran itu.

"Maaf sudah membuatmu menunggu." Sapaku.
"Tidak apa, aku juga baru tiba beberapa saat yang lalu" Ucapnya dengan senyum yang juga terlukis dari kedua sudut bibirnya.
"Anyway thanks sudah mau menemaniku makan siang ini." Imbuhnya, masih dengan senyum yang mengembang.
 Aku hanya mengangguk dan tersenyum simpul menjawab ucapannya.

Restoran Thailand, entah mengapa dia harus memilih tempat ini. Tempat dimana pertama kali kita makan bersama, tempat dimana pertama kali dia menyatakan cintanya, tempat dimana pertama kali pula aku melukai perasaannya.
Aah Grace, begitu bodohnya diriku kala itu. Menyakiti seseorang sebaik dan selembut dia. Tapi begitulah, perasaan kadang tidak bisa untuk diarahkan. Dan mungkin, tempat ini pula yang akan kembali menjadi tempatku mengecewakannya.

"Grace.. are you ok?" Ucapannya mengejutkanku dan menarik fantasiku kembali ke kesadaranku dari kenangan beberapa bulan lalu.
"Ah ya, im ok. Sorry." Ucapku lirih.
"It's ok, gak perlu minta maaf. Apa kamu sedang ada masalah?" Tanyanya kemudian.
"Nope, mungkin aku sedikit kelelahan" Aku mencoba menutupi keterkejutanku dengan senyuman.
"So Sorry kalau ajakanku ini menyita waktu istirahatmu."
Ada nada bersalah dari kalimat yang diucapkannya, membuat diriku sedikit merasa bersalah pula.
"Tidak Andy, aku baik-baik saja." Ucapku, berusaha meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja, kecuali fikiranku yang memang dalam kondisi tidak stabil. Terbawa elegi masa silam.

Entah mengapa, aku merasa gugup saat senyumnya kembali merekah. Akhirnya, kupalingkan pandanganku kesekeliling, berusaha menghindari tatapan matanya yang tajam mengarah padaku. Seolah ingin mengintip isi dalam otakku melaluinya. Dan saat itu aku baru menyadari, seperti biasa, puluhan pasang mata tengah mengawasi kami. Menatap aneh kearahku dan dia. Mungkin karena hanya akulah satu-satunya pengunjung disitu yang tidak berkulit putih dengan kedua mata sipit seperti mereka, termasuk Andy. Ya, ternyata memang hanya akulah pengunjung Indonesia di restoran ini saat itu.

Seolah dia tahu apa yang tengah aku fikirkan, digenggamnya tanganku yang sudah mendingin. Mungkin karena suhu di ruangan tersebut, mungkin pula karena suasana hatiku yang sudah diliputi rasa "minder".
 Perlahan, aku merasakan hangat dan kenyamanan dari telapak tangannya yang bertengger dipunggung tanganku. Seolah ada sesuatu, entah apa itu, yang dialirkan olehnya melalui telapak tangannya. Aku kembali menatapnya, dan kembali pula kutemukan senyuman itu. Oh Tuhan, apa yang tengah terjadi padaku. Minder, malu, deg-degan dan entah apa lagi yang menyatu dan berkecamuk di dalam hatiku.

"Tidak perlu dihiraukan" Ucapnya
"Mau makan apa, Pamelo salad with seafood?" Tanyanya kemudian, menawarkan menu yang biasa aku pesan disitu. Lagi dan lagi, aku hanya mengangguk dan melempar senyum untuk menjawabnya.

Aku seakan kehilangan kata saat harus berhadapan dengannya. Hampir seluruh jawaban dari pertanyaan yang ia lempar mampu dia jawab sendiri.
"Sebegitu fahamkah dia akan diriku?" Tanyaku membatin. Perasaan yang menghinggapiku selalu terasa tidak nyaman, merasa bersalah atau.. entah lah. Dan hal inilah yang menjadi alasanku untuk tidak memenuhi ajakannya setiap saat.

****

Menu yang kami pesan kini sudah berpindah tempat, dari piring saji kedalam lambung kami. Aku hanya menekuri sisa-sisa makanan yang masih menempel pada lekuk-lekuk piring dihadapanku. Sambil berfikir, apa yang akan aku katakan setelah ini.

"Grace. Kamu ingat? Disini pertama kali aku mengajakmu akan malam." Ucapnya memecah kebisuan yang sedari tadi memeluk kita.
"Eemh.." Jawabku singkat sambil menganggukan kepala.
"Dan kamu ingat, kini 4 bulan sudah aku menunggu jawabanmu?" Tanyanya kemudian. Lagi, aku hanya mengangguk, kemudian kutatap matanya yang mulai sendu. Ada selaksa harap yang terpancar dari kilauannya. Membuatku semakin berat untuk berkata. Berkata kejujuran yang pastinya akan mematahkan harapan itu.

"Kamu harus bisa mengutarakannya sekarang Grace, bila tidak selamanya kamu tidak akan bisa menyampaikannya." Bathinku meyakinkan diri.

Lalu kutarik nafas sedalam-dalamnya, sebelum akhirnya kuberanikan membuka suara.

"Andy, terimakasih untuk segala hal yang sudah kamu berikan padaku. Terimakasih pula atas segala kebaikan dan perhatianmu. Sungguh, sebenarnya aku tidak ingin menyakitimu. Tapi..."

"Cukup Grace, tidak perlu kau lanjutkan kalimat itu. Aku sudah bisa mengetahui apa jawabanmu." Ucapnya, memotong bagian tersulit yang hendak aku sampaikan.

"Aku tahu, itu teramat sulit untuk kamu sampaikan." Lanjutnya dengan senyum yang merekah. Ya, aku tahu. Dia pasti akan melakukan hal ini. Dan itu semakin membuatku merasa bersalah terhadapnya. Kembali, digenggamnya tanganku. Seolah neyakinkanku bahwa dia tidak apa-apa.

"Andy, kenapa kamu tidak mau mendengar alasanku?" Tanyaku penasaran.
"Aku hanya tidak ingin lebih melukai perasaanku dengan mendengar penjelasanmu Grace, bagiku mengetahui jawabanmu saja sudah cukup. Dan aku juga tidak ingin membuatmu merasa lebih bersalah dengan menjelaskannya." Terangnya.

"Tapi, apakah setelah ini kita tidak bisa berteman lagi?" Tanyaku ragu.
"Of course not, kita akan tetap berteman Grace. That's true."
"Aah.. that's relief" sambungku.

Perlahan dia melepaskan genggaman tangannya dari tanganku. Kita hanya saling melempar senyum dan kembali, kesunyian merekah diantara kita.

****

Huuuffgh.. leganya, bathinku. Seolah ada beban berat yang baru saja terlepas dari hatiku kala itu. Kendati masih belum yakin dengan keputusan yang telah kuambil dan perasaan bersalah itu ada, tapi harapanku hanya satu. Somoga tidak ada penyesalan untukku di kemudian hari.
Menyesal karena tidak menerima cintanya dan menyesal karena lebih memilih seseorang yang lebih jauh keberadaannya.

 Eeeemhh... tunggu! Memilih orang yang lebih jauh keberadaannya? Apakah aku lebih memilih setia?

Aku kira tidak seperti itu. Aku hanya ingin menjaga kepercayaan yang diberikan oleh seseorang yang hadir 10 hari lebih awal kedalam hidupku dari ungkapan cintanya Andy tempo itu. Aku yakin, mungkin hanya itu alasan yang paling tepat untuk keputusanku saat itu.

Ya, aku mengambil keputusan ini untuk diriku sendiri, it is for my own pride. Bukan demi cinta, bukan ingin setia bukan pula untuk dia yang jauh disana. Karena bagiku, menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh seseorang sama halnya dengan menjaga kehormatan diri kita sendiri.


Hong Kong, Chili and Spicy Restorant. Thursday, Nov 21st, 2013.

Sunday, November 17, 2013

Cermin : Kopi, Capuchino, dan Kita



"Aku rindu sapaan hangatmu, sehangat Capuchino pagi yang biasa kau sajikan dulu. Almira..."

Itulah pesan singkat darimu, yang membuat degupan jantungku terhenti beberapa detik, membekukan aliran darah dan waktu, melelehkan rindu lewat aliran air mataku.

***

"Capuchino satu, tanpa gula dan banyakin foam-nya, please."
Itulah kalimat pertama yang kamu ucapkan diawal pertemuan kita. Terbalut dalam outfit hitam, sepatu kulit yang mengkilat serta mata yang tak pernah lepas dari layar PC, benar-benar terlihat elegant.

Pertama, kedua, ketiga,keempat..

"Capuchino tanpa gula dengan banyak foam?" Tawarku saat menghampirimu yang terduduk di tempat biasanya kamu duduk, meja pojok dekat jendela kaca yang menghadap keluar.

Binggo...

Ternyata tawaranku akhirnya mampu memalingkan pandanganmu dari layar PC, saat wajah tampanmu menatapku heran. Seulas senyum aku lemparkan untuk mencairkan suasana, berbalas dengan senyumanmu yang maha indah. Dan, aku dibuatnya mabuk kepayang.

"Kau yang setiap kali menghantarkan kopi pagiku?" Tanyamu saat aku kembali menghampiri mejamu dengan secangkir Capuchino diatas nampan saji.
"Betul, selamat menikmati" ucapku.
"Terimakasih"
Lalu kutinggalkan kau yang masih mengumbar senyum.

Selangkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah..
"Panggil aku, tanya namaku.." harapku kala itu.

"Eemh.. Sorry!"

Yess....!! Akhirnya, dugaanku tepat saaaran. Kembali, kubalikan tubuh kearahmu.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tanyaku.
"Rey! Nama saya Rey, eemh.. saya harus memanggil anda..?"

Woow.. benar-benar membuatku terpaku, Rey....?

"Hallooo..." sapanya menyadarkanku yang dibuai keterkejutan.
"Almira, panggil saya Almira" ucapku gugup saat kesadaran telah menghampiriku.
"Nama yang indah. Thanks Almira, Capuchino-nya pas sekali" ucapmu dengan mengacungkan cangkir Capuchino yang berada di genggamanmu, masih, dengan senyum mautmu.

Ya.. sejak itu, sehari, dua hari, tiga hari, empat hari...

Kita semakin intense berkomunikasi. Obrolan-obrolan santai kita akhirnya tidak lagi sebatas telpon, kini short-meeting pun sering kita lakukan, sekedar untuk menikmati waktu sore bersama secangkir kopi yang pula menambah rasa kebersamaan kita.

"Senin depan aku akan ke Canada for settled something" Ucapmu sore itu.
"Ada sedikit masalah di perusahaan sana"
"Untuk berapa lama?" Tanyaku lirih
"Belum tahu, tapi aku janji akan segera kembali begitu masalah selesai."
Terangmu meyakinkanku. Tapi tahukah, bahwa itu tidak bisa mengembalikan rasa kopiku. Kopiku hambar, rasanya memudar seiring ucapanmu tadi. Aku hanya mampu mengangguk, menyetujuimu dengan kehambaran rasa itu.

Kini, besi terbang itu menghantarkanmu, memisahkan kebersamaan kita, menghambarkan kopi-kopi yang aku teguk setelahnya, dan menyisakan sesal karena aku tak sempat mengungkapkan rasa.
Ya, rasa. Rasa yang selama ini kamu ciptakan dalam cangkir-cangkir kopi kita, rasa yang kerap menghadirkan kerinduan, rasa yang tak pernah aku duga sebelumnya. Aku jatuh cinta.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan...

Kini, telah menginjak akhir bulan kelima kepergianmu. Namun, tak pernah sekalipun kamu mengirimkan kabar ataupun pesan. Aku seakan dibuat raib dalam kehidupanmu.

Hingga pagi ini, lamunanku tersentak oleh nada SMS dari telpon genggamku.

"Rey"

"Aku rindu sapaan hangatmu, sehangat Capuchino pagi yang biasa kau sajikan dulu. Almira... kau masih tetap terlihat cantik dengan seragam itu"

"Rey, kamu disini?!" Gumamku dalam diri. Lalu, aku berlari, mengelilingi caffe, menuju meja yang mengahadap jendela kaca di sudut caffe.

Huuuuffgh... kutarik nafas panjang saat pandanganku menatap sosokmu.
Senyum menawanmu, tubuh kekarmu, wajah tampanmu, outfit hitammu dan secangkir Capuchino yang berada di genggamanmu. Ya, kamu. Sosok yang kurindukan dan kini kembali berada di hadapanku. Dan enatahlah, harus seperti apa aku ungkapkan rasa bahagiaku.

Menurutmu...??

Thursday, November 14, 2013

Cerbung :

Gadis di Ujung Senja (Bag 2)



___Preview : Dia adalah gadis cantik yang terlahir ditengah keluarga yang kaya raya, kecantikan dan setatus social itu yang menjadikan Dia sebagai sosok yang begitu fenomenal, di sekolah, lingkungan tempat tinggalnya, juga teman-teman sebayanya. Bahkan Dia dianugrahi gelar "Ratu sekolah" di sekolahnya. Namun, segala kemewahan dan hal yang dimilikinya itu ternyata menghantarkan Dia kegerbang pergaulan yang kelam dan menjaikannya sosok yang egoistis. Hingga kejadian yang tak terlupakanpun menghampiri kehidupannya. Sesaat setelah pertengkarannya dengan Wahyu,sahabat yang juga secara diam-diam menaruh hati padanya.


Cuaca siang itu amat menyengat, pancaran mentari yang menyentuh permukaan bumi seakan tengah berada di titik tertingginya. Nampak seorang siswa dengan seragam putih-abuabunya melangkah, menyusuri lorong sekolah yang menghubungkan ruangan kelas dengan ruang Guru. Perawakan tinggi kekar dengan rambut hitam lurus yang dibelah 7/3 terlihat mantap melangkah, menuju ruangan di ujung lorong itu. Diatas tangannya tertumpuk beberapa buku yang menjulang hingga menutupi bagian dadanya.

"Woey...!!" Tepukan tangan seseorang yang mendarat di pundaknya sontak membuat ia terkejut.
“ Kemane Bray?” lanjutnya.
“Ah elo Dith, ngagetin aja. Ini kaga liat? nganterin buku ke ruangannya pak Hasbun” Jawab pria itu.
“Sini gue bantuin, kesiksa bener lo keliatanya” tawar Radith yang melihat Wahyu kesulitan dengan tumpukan buku-buku di tangannya.
“Ah syukur deh, gue kira lo kaga ngerti”

Radhit hanya terbahak mendengar jawaban Wahyu, sahabatnya, kemudian mengalihkan sebagian buku dari tangan wahyu ke genggamannya.
“Eh iya, lo udah dapat kabarnya Dia?” Tanya Radith sekembalinya dari ruangan pak Hasbun. Wahyu yang ditanya hanya mengangkat kedua bahunya.
“Tau deh, udah berkali-kali gue tanya ke keluarganya, tapi jawabannya masih sama. Dia masih gak mau ketemu sama siapapun.” Ucap Wahyu lirih. Lalu pandangannya dilempar jauh ke depan, seolah tergambar kembali kesedihan yang selama ini ia coba sembunyaikan. Kerinduan dan kekhawatiran terdengar jelas dari nada suaranya.
“Huuuffgh,…!!” Nafas beratpun ia hembuskan.
“Ya sudahlah Bray, mungkin memang ini yang terbaik untuk Dia dan kita semua. Doakan saja semoga semua bisa menjadi lebih baik.” Radhit seolah tahu persis bahwa sahabatnya tengah mengalami kegundahan yang maha dahsyat.
 “Ah apaan sih lo, so melankolis banget dah.” Tangan wahyu berusaha menyingkirkan tangan Radith yang bertengger di pundaknya.
“Haha… yah elah Yu, sekali-kali kite romantic kan gak apa-apa kali” ledek Radith yang melihat Wahyu sibuk menyembunyikan kesedihan yang mulai terlihat di roman wajahnya.
“Najooong….!!” Pungkas Wahyu yang berlari, berusaha mendahului Radith yang berada di sampingnya. Lalu kedua sahabat itu berlari, saling kejar, langkah mereka diiringi dengan gelak tawa dan candaan.

Memang tidak ada yang berubah dari sosok Wahyu pasca pemberitaan media tentang kasus yag menimpa sahabat serta gadis yang dicintainya secara diam-diam itu. Ia tetap terlihat kalem dan cool. Prestasi di sekolanya pun tetap stabil, seakan tidak ada kekhawatiran apapun dalam dirinya. Tapi, bagi orang-orang terdekatnya, termasuk Radith, Wahyu jelas tidak dalam keadaan yang baik-baik saja. Meski kerap ia menyembunyikan kesedihan dan kekhawatiran yang teramat  sangat dengan canda tawa dalam kebersamaan mereka. Kerinduan akan sosok Dia jelas diembannya saat ini.

***
Sementara itu…
Di tempat yang berbeda, dilereng bukit yang berselimut kabut tipis nan putih, dengan suhu udara yang pastinya jauh berbeda dengan Ibu kota dan segala hingar bingar dan pencemaran polusinya.
Gadis cantik terbalut pakaian yang serupa dengan orang-orang disekelilingnya terlihat menyendiri disalah satu kursi yang tersebar di area taman rindang itu. Tangannya terlihat aktif menggerakan pena yang menari di atas sebuah buku, sesekali pandangannya ia lempar kesekeliling taman lalu kembali tertunduk, menatapi rentetan hurup yang ia cipta.

"Nona Dia, Dokter Aldi memintamu untuk datang ke ruangannya." Suara seorang wanita berseragam serba putih menghentikan aktifitasnya.
"Ah ya, terimakasih Suster." Ucapnya dengan seulas senyum manis yang ia lemparkan.
"Sama-sama, mari saya duluan"
Dia hanya mengangguk untuk mengiyakan. Masih, dengan senyum manisnya yang mengembang.
Setelah suster tadi berlalu, tangan Dia kembali sibuk merapikan beberapa buku dan pulpen yang berserak di sekelilingnya, kemudian melangkah, meninggalkan keasrian taman dan lamunannya, menuju ruang yang dimaksudkan.

Dia, gadis cantik berusia belasan tahun yang kini tercatat sebagai salah satu penghuni panti rehabilitasi yang berlokasi di pinggiran kota Bandung, terlihat lebih ceria dari pertama kali ia dikirim ke tempat tersebut.
Kehidupan dan suasana panti telah mampu melahirkan Dia yang baru, kendati beberapa minggu pertama di panti terasa seperti neraka baginya. Terisolasi dalam lingkungan yang sangat tertutup dengan minimnya prasarana dan alat komunikasi, terlebih internet. No BBM, No Watsapp, No Facebook, No Twitter dan berbagai media sosial lainnya semakin menambah nilai kejenuhannya.

Namun seiring berjalannya waktu, perlahan Dia telah bisa beradaptasi dan mulai terbiasa dengan keadaan tersebut. Bahkan, sosok Dia yang manja, judes dan egoistis kini telah lenyap, berganti dengan Dia yang kalem, mandiri dan selalu menebar senyum pada siapapun. Ya, ternyata masalah dan kesulitan telah memberikan Dia banyak pelajaran, dan pengalaman tersebut mengantarkannya pada kedewasaan yang sebenarnya.

Took.. Took…. Tangan Dia mengetuk daun pintu ruangan Dokter Aldi.
            “Ya, masuk.” Sahut suara dari dalam ruangan bercat putih itu.
Nampak seorang Pria berperawakan sedang yang mengenakan pakaian serba putih, mirip seperti Suster tadi.  Kacamata yang terpampang menutupi matanya menambah kesan wibawa pada dirinya.
            “Siang Dok” Sapa Dia saat mulai memasuki ruangan tersebut.
            “Hai Dia, selamat siang. Bagaimana kondisimu hari ini?” Sambut Pria yang dipanggil “Dok” itu. Ternyata dialah dokter Aldi, dokter yang selama ini mengawasi perkembangan psikis dan pesikologi para penghuni panti, termasuk Dia.
            “Saya baik, dokter sendiri bagaimana?” Jawab Dia.
            “Syukurlah, saya juga selalu baik pastinya. Mari silahkan duduk.” Kemudian dengan senyum ramahnya, dokter Aldi mempersilahkan Dia menduduki kursi yang berada dihadapan meja kerjanya.
            “Emmmh…Dia Prameswari, Perkembangan kondisi kamu melesat drastis yah. Waah hebat.” Ucapnya dengan mata yang masih khusyuk menatap lembar-lembar kertas di tangannya.
            “Terus pertahankan, makan teratur dan konsumsi obat serta olahraganya jangan lupa ya. Bila dalam seminggu ini kondisimu terus membaik, kamu bisa mengajukan waktu kepulanganmu lebih cepat dari yang ditentukan.” Terang sang dokter.
            “Benarkah dok, saya bisa segera pulang?” Tanya Dia meyakinkan tentang apa yang barusan didengarnya.
            “Betul” Jawab dokter dengan anggukan pasti.
            “Ngomong-ngomong, menurut penuturan suster jaga, belakangan ini kamu sering tidur larut, kenapa Di? Apa ada sesuatu ynag mengganggumu?” lanjut dokter
            “Ah.. tidak ada apa-apa dok, hanya saja beberapa hari kebelakang saya lagi suka menekuni hobby lama saja” tutur Dia menjelaskan.
            “Hobby? Apakah itu?” tanya dokter menyelidik.
            “Menulis dok.” Jawab Dia malu-malu.
            “Ooh.. wah bagus itu, terus  kembangkan. Tapi ingat, harus jaga kesehatan juga yah.”
            “Baik dok, terimakasih.”
            “Kapan-kapan boleh saya baca tulisannya?” tanya dokter Aldi dengan senyum yang masih melekat di keua bibirnya.
            “Tentu saja boleh, nanti kalau ceritanya sudah selesai dokter yang jadi pembaca pertama saya ya.” Jawab Dia setengah bercanda.
            “Deal!” jawab dokter Aldi, dan tawa merekapun memenuhi seisi ruangan tersebut.

***
Beberapa minggu sudah Dia kembali ke rumah mewahnya, setelah beberapa bulan tinggal jauh dari rumah dan keluarga serta kehidupan yang dulu dimilikinya, kini segalanya telah kembali ketempatnya semula. Hanya saja satu hal yang memang telah berubah, sikap dan sifat Dia.
            “Sayang, apa kamu masih tidak mau nak Wahyu mengetahui kepulanganmu ini?” Tanya Ibu Cokro, yang terduduk di hadapan Dia yang sibuk menatap layar PC dengan tangan yang tak kalah sibuknya menari diatas keyboard .
            “Kasihan dia, entah sudah berapa puluh kali nak Wahyu menelpon Mamah untuk mencari tahu keberadaanmu.” Lanjutnya.
            “Dia masih malu untuk bertemu dengannya Mah” Kali ini pandangannya beralih menatap wajah cantik Mamahnya.
“Yakin deh, suatu saat nanti Dia pasti akan menemuinya, tapi tidak dalam waktu dekat ini.” Jawab Dia lirih.
Bu Cokro hanya mengangguk seraya mengelus rambut putri semata wayangnya itu, dengan penuh kasih ia lalu memeluknya. Inilah kebahagiaan baginya, bukan harta benda yang melimpah, tapi kasih sayang dan keutuhan keluarga.

__Bersambung...

Wednesday, November 13, 2013

Cerbung :

Gadis di Ujung Senja (Bagian 1)


Cantik, terlahir di tengah keluarga yang cukup berada, tubuh yang terbalaut dengan outfit ala selebritis adalah sebuah hal yang wajar baginya yang hidup dalam ke-glamouran. Tak pelak, title “Ratu Sekolah” pun disandang olehnya kala itu.

Dia, gadis belia dengan postur tubuh biasa namun memiliki daya tarik lebih, yaitu “anak orang kaya” membuat sosoknya begitu fenomenal di kalangan penghuni sekolah. Menjadi buah bibir disetiap obrolan para Siswi dan target incaran bagi sebagian besar Siswa, tidak hanya itu, staff pengajarpun tak kalah heboh dibuatnya. Meski prestasi Dia di sekolah biasa saja, bahkan cenderung buruk, tapi hal tersebut tidak mengurangi kepamorannya.

Wahyu adalah sahabat Dia sejak kecil yang juga menaruh rasa lebih dari sekedar sahabat padanya. Persahabatan yang mereka jalin sejak masa kanak-kanak, menjadikan Wahyu tahu persis tabiat dan kebiasaan Dia.

“Berhentilah Di, apa kamu gak kasihan dengan orang tuamu? Mereka selalu diliputi kekhawatiran oleh segala kebiasaanmu itu. Keluar malam lah, mabuk-mabukan lah, belum lagi…”  Belum juga Wahyu selesai dengan kalimatnya, gebrakan tangan Dia yang mendarat di meja memotong kalimatnya.

“Udah deh, lo gak usah ngatur-ngatur gue. Emang lo siapa, Bapak gue bukan, pacar gue? Apalagi, najis gue..!” Kalimat pedas Dia semakin membuat nyali Wahyu kecut.

“Inget ya Yu, lo itu cuma temen gue. Jadi gak usah ikut campur kehidupan gue, ngerti lo!” Begitu kalimat terakhir Dia, sebelum akhirnya ia meninggalkan Wahyu yang masih diliputi kebisuan.

Setelah kejadian itu, sosok Dia seakan lenyap dari muka bumi. Dia tidak pernah lagi tertangkap oleh pandangan Wahyu, bahkan hampir seminggu ini Dia absen dari sekolah.

“Yu lo gak apa-apa?” Pertanyaan Radhit, teman sebangku Wahyu membuyarkan lamunannya.

“Gue gak apa-apa Dit, eh ya gimana futsal kemarin, menang kaga?” Sahut Wahyu.

“Menang dong, keren banget permainan kita. Lo sih, ngapa kaga ikut tanding?”

“Iye, sorry banget ye..”

Tiba-tiba salah seorang siswa, teman sekelas mereka berlari tergopoh menghampiri Wahyu dan Radhit yang tengah asik ngobrol.

“Yu, lo udah baca ini belum?” Ucapnya dengan nafasnya tersengal, lalu tangannya menyodorkan koran harian tepat di hadapan mereka.

“Ada apaan emang?” Tanya Wahyu, kemudian tangannya menyabet koran tersebut.

Mata wahyu terlihat khusuk menelanjangi kata demi kata. Selang beberapa saat, wajahnya terlihat pucat pasi, bibirnya yang terkatup terlihat bergetar, buliran air mata pun mengalir, membentuk anak-anak sungai yang membelah pipinya.

“Yu, lo kenapa?” Membuat Radhit yang duduk disampingnya terkejut dan penasaran dengan berita yang Wahyu baca.

“Siswi SMA, Digrebek Saat Pesta Sabu-Sabu di Kamar Kostnya!”

Mata Radhit semakin terbelalak setelah mendapati salah satu nama inisial dan foto tersangka yang ada dalam berita tersebut. Ternyata Dia, teman sekelas dan “Ratu” di sekolah mereka.

Rupanya, selama hampir seminggu menghilangnya Dia, ia pergi bersama pacarnya yang juga salah satu tersangka dalam kasus tersebut.

_Bersambung…..

Puisi Cinta

Cinta Tetap Begini

Dan bila, mentari pagi ini tak lagi tunjukan sinarnya dan pagi terkungkung dalam kemalasan.
Dan bila, langit berubah warna
dari biru cerah tersulap hitam pekat, dan burung tidak lagi menyapa dengan kicau merdunya.
Kiranya hari akan tetap seperti ini,
melaju 24 jam dalam rotasinya.

Dan bila, hari ini bermula tanpa sapamu dan cinta tak lagi memihakku.
Dan bila kesunyian kian erat memeluk dan sepi melanda kegersangan rasa.
Kiranya hidup akan tetap seperti ini,
dimula dari secangkir kopi dan berakhir dalam buai mimpi.

Takan ada yang berubah,
takan mungkin berpengaruh banyak.
Kebersamaan adalah singgahan dalam fase kehidupan,
perpisahan adalah kepastian dari setiap pertemuan.
Kini atau nanti, semua akan tetap terjadi.

Bila bijih berubah tumbuh dan berkembang, putik berbuah dan bijih kembali tercipta.
Itulah kita yang merekah dalam taman kehidupan, dunia.

Bila Romi rela mati bersama Juli dan Cleopatra korbankan diri untuk Anthony.
Maka sekiranya, akulah Siti Nurbaya yang rela meninggalkan Syamsul Bahri demi keluarga.

Salah, bila cinta diartikan dengan kebersamaan.
Karena cinta tidak pernah memaksakan kehendaknya.
Salah, bila cinta direfleksikan sebagai aset pribadi. Karena sejatinya Cinta hanya menyatukan hati, bukan jasad kita.

Dengan atau tanpamu, cinta kita akan tetap seperti ini.

Tuesday, November 12, 2013

Yuk Belajar : Apasih WTO itu?




Image may be subject to copyright



World Trade Organization (WTO) yang saat ini tengah menjadi buah bibir sekaligus momok yang sangat menakutkan bagi rakyat, tidak hanya di Indonesia yang akan menjadi tuan rumah untuk pertemuannya yang ke 9 di Bali pada Desember mendatang, tapi juga bagi sebagian besar penduduk dunia. Dikarenakan oleh berbagai aturannya yang sangat merugikan rakyat di negara yang menjadi anggotanya.

*Sejarah WTO

WTO atau Organisasi perdagangan dunia yang telah lama lahir namun dengan nama yang berbeda, yaitu General Agreement on Tarif and Trade (GATT).
GATT pada awalnya ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), yaitu badan khusus PBB yang termasuk dalam sistem Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia). Perjanjian ITO disetujui dalam UN Conference on Trade and Development (Konfrensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan) di Havana, Maret 1948. Namun proses ratifikasi di lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar, sehingga ITO pun akhirnya tenggelam. Kendati demikian, GATT tetap menjadi instrumen multilateral yang berugas mengatur perdagangan internasional.
Seiring perkembangannya, GATT yang awalnya beranggota 28 negara akhirnya bertambah menjadi 155 negara, tercatat dari jumlah ratifikasi pada pertemuan terakhirnya di Marakesh, Maroko, 5 April 1994. Dikarenakan sebagian besar negara anggota GATT menghendaki adanya sistem perdagangan bebas, maka pada 1 Januari 1995 GATT resmi diubah menjadi World Trade Organization (WTO) dan bermarkas di Jenewa, Swiss.

* People’s say, Junk WTO!

WTO yang bertujuan mendefinisikan aturan perdagangan dunia, sehingga tidak terjadi perselisihan diantara negara anggotanya. Dengan cara mengikat pada satu peraturan sehingga tercipta keamanan dalam membuka perdagangan bebas.
Untuk mensukseskan tujuannya itu WTO memiliki tiga mantra jitu, Liberalisasi (kebebasan), Deregulation (menghapuskan), dan Privatization (menswastakan).

1. Liberalisation, yaitu membuka dengan bebas sistem perdagangan diantara negara-negara WTO. Siapapun yang memiliki modal dapat dengan bebas menanam saham atau menjual barang dagangannya dimanapun mereka mau.

2. Deregulation, menghapuskan segala macam peraturan yang dapat mempersulit akses masuknya investment kedalam negara tujuannya. Sehingga hal tersebut semakin mempermudah sistem perdagangan mereka. Salah satunya, menurunkan bea cukai/pajak pada barang export sehingga harga jual barang tersebut dapat bersaing dengan harga barang lokal, yang akhirnya mematikan  peroduk pengusaha kecil dalam negeri. Akibatnya, semakin banyak rakyat yang kehilangan mata pencaharian dan gulung tikar, meningkatnya pengangguran dan angka kemiskinan, terjadinya migrasi paksa dan sistem buruh murah.

3. Privatization atau swastanisasi. Mengalih-tangankan kewenangan negara pada pihak swasta, dikarenakan laju perekonomian negara begitu bergantung pada investor asing. Sehingga pendidikan, kesehatan, dan berbagai aspek lain tidak bisa dinikmati dengan mudah oleh rakyat. Dampaknya, rakyat miskin tidak bisa mengenyam pendidikan dan mendapatkan layanan kesehatan dengan mudah karena mahal.
Pada intinya, WTO hanyalah alat bagi para pemodal untuk menanamkan investasinya dan memaksa seluruh negara anggotanya untuk menerima dan menjalankan aturan tidak adil yang dibuatnya (negara berkembang/miskin dipaksa manut karena tidak punya modal untuk bersaing)

Berbagai kesepakatan yang dicapai dijadikan legitimasi untuk mengeruk SDA dan menggunakan rakyat sebagai tenaga kerja murah sekaligus pasar bagi produk-produknya.
Peraturan-peraturan tersebut mengikat seluruh negara anggotanya dengan skema perdagangan yang tidak adil (melalui 3 mantra yang disebutkan di atas).

*Dampak WTO bagi rakyat miskin.

Berbagai peraturan yang diciptakan oleh WTO pada hakekatnya hanya diperuntukan bagi keuntungan para pemodal kaya (Imperalis) yang sangat merugikan rakyat miskin. Rakyat kecil samakin tergilas oleh roda kemiskinan yang akhirnya terpaksa menjadi budak di negaranya sendiri. Maraknya kasus Human trafficking, rakyat miskin dikirim ke luar negeri dan terpaksa dijadikan buruh murah dengan berbagai kerentanan di lokasi kerja, minimnya hukum yang melindungi menyebabkan penumpukan masalah buruh migran yang tidak pernah terselesaikan.

Krisis pangan yang menimpa kaum tani karena pencabutan subsidi dari pemerintah yang WTO planning-kan juga semakin memperburuk kondisi rakyat Indonesia yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Ditambah lagi harga kebutuhan pokok yang semakin tak terkontrol lonjakannya menciptakan seabrek permasalahan sosial dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, jangan merasa bangga bila Indonesia dijadikan tempat pertemuan-pertemuan penting dunia akhir-akhir ini. Karena pada hakekatnya Indonesia tengah dipromosikan kepada investor dunia oleh WTO. Dan apabila planning WTO itu benar terjadi, sudah menjadi sebuah kepastian bahwa hidup rakyat semakin dipersulit, ditindas dan dijadikan object penjajahan gaya baru.

PEOPLE’S SAY, JUNK WTO!!!

Ada tambahan? komentar are welcomed untuk memperkaya artikel ini.


Sunday, November 10, 2013

Cermin : MALAS

"Malas, sesuatu hal yang sepele tapi begitu berbahaya. Dia adalah tembok 
penghalang tertinggi yang akan memisahkan kita dari kesuksesan." #LC


Entahlah, sudah beberapa minggu ini diriku dipeluk kemalasan. Penyakit ini memang sangat sulit disembuhkan, selain kanker alias kantong kering dan ngantuk yang selalu akut menyerang.

Yakin deh, padahal ada keinginan dan sesuatu yang ingin kucurahkan lewat tulisan, tapi tiap kali mata menatap layar PC dan tangan sudah siap pasang aksi pasti perasaan malas akan membimbing dan mengarahkan ke tujuan yang berbeda. Mang Yusup dan Bi Pesbuk selalu terlihat lebih menarik dari situs atau folder lain yang isinya belum bisa aku selesaikan.

"Gak ngerti deh Mbok, tiap kali buka Lepy atau hape pasti fikiranku berubah haluan. Aaarrgh.. benci lah dengan keadaan ini!" Umpatku pada diri sendiri saat terlibat obrolan dengan Mbok Rosy lewat saluran telpon. 
"Lah ya piye meneh toh Ciet, yo wis dinikmati ae. Kalo lagi pengen nulis yo nuliso, tapi lek lagi koyo ngunu yo rausah kamu paksa. Daripada kamu setres nanti karena kebingungan" jawabnya dengan logat jawa yang medok, membuatku semakin bingung. Antara menuruti kemalasan atau...

Akhirnya, karena tidak terlalu ingin ambil pusing kuputuskan untuk memanjakan diri saja dengan kamalasan, hanya untuk sementara waktu fikirku. Alhasil, setiap ada waktu luang selalu ku isi dengan menonton berbagai film di situsnya mang Yusup atau hanya menengok-nengok dinding teman di situsnya bi Pesbuk, dan tanpa aku sadari ternyata hal ini berlangsung terus menerus. Ya, beberapa minggu itu aku benar-benar dibuai kemalasan, menghabiskan waktu ntuk hal yang tidak mendatangkan untung.

Hingga suatu siang, saat angin thypon bersekala 3 menyapu daerah tempatku tinggal dan kondisi kuota pulsa memaksaku keluar rumah. Saat hendak menyebrang jalan, pandanganku tertuju pada seorang nenek, mungkin usianya sekitar 80 tahunan. Beliau tengah asik mengobrak-abrik tong sampah yang bertengger di dekat penyebrangan jalan. Kuperhatikan dua kantung plastik besar berisi berbagai jenis botol minuman bekas bergelayut di tangan kirinya yang ringkih, sedang tangan kanannya sibuk mengaduk-aduk isi tong sampah. Saat lampu tanda menyebrang berubah dari warna merah ke hijau, segera ku ayunkan langkah menyebrangi jalan. Kini nenek tua tadi berada tepat disampingku, terlihat jelas kerutan disekujur bagian tubuhnya yang tidak tertutup pakaian. Punggung bungkuknya semakin dibungkukan saat  tangan beliau meraih botol plastik di dasar tong sampah. Selang beberapa langkah aku melewatinya, entah karena tersenggol oleh para pejalan kaki, entah terkena terpaan angin thypon atau apalah, tiba-tiba beliau terjatuh. Puluhan botol di dalam kantong plastiknya berserakan kamana-mana, tubuh nenek pun terkapar, membentur kerasnya paping block jalanan.

Karena tak ada seorangpun yang menghampiri, aku segera berlari kearahnya. Kucoba membantunya berdiri dan kupapah menuju emperan toko di pingir jalan, menghindari para pejalan kaki yang diburu dengan urusannya masing-masing. 
"Nyonya tak apa-apa, apakah ada yang terluka?" Tanyaku khawatir.
"Saya baik-baik saja, terimakasih nak" jawabnya. 
Setelah membantunya mengumpulkan botol-botol bekas dan memasukannya kembali kedalam kantong plastik, aku putuskan untuk segera pulang. 
"Nyonya, sebaiknya lekas pulang. Sepertinya angin akan semakin kencang nanti, sangat bahaya kalau nyonya tetap berada di luar rumah." Pesanku sebelum meninggalkannya.
"Iya nak, sekali lagi terimakasih banyak." 
Lalu kulambaikan tangan sebagai tanda perpisahan yang disambut dengan lambaian tangan dan seulas senyum dari bibir si nenek.

Sepanjang perjalanan ke rumah aku berfikir, nenek setua tadi saja masih begitu gigih memanfaatkan waktu luangnya untuk hal yang lebih baik. Mengumpulkan botol bekas disepanjang perjalanannya, entah itu pekerjaannya atau hanya iseng aku tidak begitu tahu. Tapi yang pasti, memisahkan botol plastik atau sampah jenis plastik dari sampah lain jelas membantu untuk mempermudah proses daur ulang, yang mana hal itu sangat berguna bagi lingkungan.

"Tapi mengapa aku begitu malas untuk melakukan sesuatu yang lebih berguna di sela waktu luangku, padahal belajar itu akan lebih memberikan keuntungan daripada hanya menonton film di tempatnya mang Yusup ya?"

Eemmh... Bagaimana dengan kalian, apakah masih senang memanjakan diri dengan kemalasan atau sudah mau menggunakan waktu luangnya untuk hal yang lebih bermanfaat juga...??

Hayoooo.... ;)

Monday, November 04, 2013

CERMIN

Cermin : Saya Seorang Pembantu


"Semakin rendah menilai orang lain maka akan semakin merendahkan kedudukan kita dihadapan orang tersebut"

Merasa diri sebagai buruh migran yang bekerja di sektor rumah tangga dengan mayoritas dipandang berkasta rendah menjadikan saya pribadi yang sangat sensitif, mudah tersinggung serta sering merasa rendah diri.


Namun akhirnya menset di fikiran saya ini sedikit berubah setelah mengenal seorang kawan lokal Hong Kong, beberapa bulan lalu. Dia sangat berbeda dari orang-orang yang saya kenal sebelumnya dalam hal memandang dan menilai sesuatu.


Pernah suatu ketika saya terlibat obrolan "sengit" dengannya, dan ini menyangkut dengan diri dan pekerjaan saya.


Saat itu, untuk yang kesekian kalinya kami makan malam bersama. Sama seperti makan bersama kami sebelumnya, restoran elit dengan menu yang terasa  aneh di lidah jawa saya. Tidak bermaksud mengeluh atau tidak suka, sayapun sepontan bertanya "Kamu gak malu ya bawa aku ke restoran kaya gini?"


Tapi tanggapan yang saya terima sungguh di luar dugaan. Pertanyaan yang terlontar secara sepontan itu justru membuatnya mengernyutkan dahi dan dengan mata "berapi" berbalik tanya. 

"Apa yang membuatku merasa malu membawamu ke tempat ini?" 
"Apa karena kamu orang Indonesia, apa karena kamu pembantu?" lanjutnya. 
Saya hanya mampu melongo dan mengangguk untuk menjawab rentetan pertanyaannya.
"Bila demikian kamu tidak perlu merendah diri, karena pekerjaan kita sama." tambahnya. 
"Sama? mana mungkin! kamu seorang pekerja di kantor dengan gaji puluhan ribu dollar sedangkan aku pembantu rumah tangga dengan gaji yang hanya beberapa ribu saja. Dari profesi dan gaji itu saja sudah membuktikan jauhnya perbedaan kita" pungkasku menimpali pernyataannya.

"Kita sama-sama pembantu Lie, kamu membantu bossmu dengan pekerjaan rumahnya dan aku pula membantu bossku dengan pekerjaan di kantornya. Kita sama, memberikan tenaga untuk kesuksesan orang lain dengan imbalan uang. Bedanya hanya di nominal gaji dan tugasnya saja, sedangkan esensinya kita sama-sama membantu boss kita." tuturnya, membuat saya membisu untuk kesekian kalinya. 


Semenjak itu kami semakin intense bertemu dan bertukar pendapat, aku pun perlahan mulai membuang rasa minderku saat harus menemaninya jalan atau makan di luar.


Meski pandangan berbeda dan pemikiran kolot masih sering saya temui, namun berkat dukungan dan pemikirannya itu saya tidak lagi merasa tersinggung atau dibuat minder oleh berbagai persepsi itu. 


Kejadiannya beberapa hari lalu, saat itu secara tidak sengaja ada sebuah setatus yang sedikit "mencubit hati" lewat di beranda Facebook saya. 

"PEMBOKAT atau bekas pembokat harus tetap kita hormati, setidaknya dia sudah membantu kita untuk bersih-bersih." kira-kira begitu isinya (Pembokat = sebutan/panggilan yang merendahkan pembantu).

Saat itu yang ada di benak saya hanya timbul sebuah pertanyaan, apakah dia cukup terhormat bila tidak mau menghormati pembantu? Seberapa tinggi sih kedudukannya hingga begitu meremehkan pembantu dengan kata "bersih-bersih" ?

Samakah dengan penilaian teman saya yang bekerja sebagai programmer di kantor retile internasional dengan gaji puluhan ribu dollar? 

Atau....


Aaah.. anyway, setiap orang memiliki hak dan penilaian yang relatif berbeda, dan mereka memiliki hak untuk menilai sesuka hati mereka. Tapi satu pesan yang saya ingat darinya, bahwa segala bentuk penilaian yang objective maupun sepihak yang diberikan oleh seseorang akan mengidentifikasi dan mencerminkan cara fikir dan kasta moral mereka dalam kehidupannya. Semakin rendah dia menilai sesuatu maka akan semakin rendah moralnya dari yang dia nilai.


So, jangan merasa rendah diri atau minder karena keadaan and try to look any conditions from a bright side guys... :)